Sepintas ia seperti seorang petani pada umumnya yang hidup disebuah perkampungan yang ada dilereng sebuah gunung, dengan rambut yang sudah memutih dan agak awut-awutan, keriput yang menghiasi wajah dengan mata yang sedikit redup tapi tajam serta kumis lebat tak beraturan. Suharsono (60th) atau yang akrab di sapa Mbah Harso anggota dari SARDA Jawa Tengah yang bertugas di gunung lawu.
Saat itu saya bertanya kepada Mbah Harso megenai apa-apa saja yang ada di puncak gunung lawu, karena bukan rahasia umum lagi kalau gunung lawu selain sebagai tempat pendakian para pencinta alam, juga dijadikan sebagai tempat ziarah para pelaku spiritual. salah satu bentuk budaya yang ada di tanah Jawa. Dengan kata-kata lembut Mbah Harso memberitahukan semua tempat-tempat ziarah yang ada. Percakapan kita pun semakin asik, hingga obrolan pun beralih tentang pengalamannya selama berada di gunung lawu.
dengan tenang Mbah Harso bercerita tentang apa-apa saja yang pernah dialaminya
Berawal dari sebuah mimpi yang dia alami sekitar 44 tahun yang lalu yaitu pada 1968, tentang mimpinya bertemu dengan sosok perempuan tua yang kemudian mengajaknya pergi ke gunung lawu. entah itu sebuah mukzizat atau apa, ternyata keesokan harinya dirinya sudah berada di puncaknya, disebuah petilasan yang konon sebagai tempat untuk bertapanya Brawiaya V yang bernama pertapan Hargo Dalem. Belum juga hilang rasa bingung yang menyelimutinya saat itu, sosok perempuan tua itupun datang menghampiri dengan membawa tiga bungkus makanan yang diberikan sambil berpesan "jangan pernah meninggalkan pertapan Hargo Dalem sebelum aku yang menyuruh." Setelah itu sosok perempuan tua itu pun pergi dari hadapannya.
Selama menjalani hidup di gunung, Mbah Harso hanya berdiam diri saja dipertapan tersebut selama tujuh hari lamanya. "ya namanya orang baru pertama kali hidup sendirian digunung, pasti merasakan rasa takut, tapi, akan lebih takut lagi kalau pergi dari pertapan itu," ucapnya. Setelah melewati hari ke-tujuh, perempuan tua tersebut datang lagi dan menyuruhnya turun dan pulang kerumahnya di Solo. Belum ada satu bulan di rumah, Mbah Harso pun diperintahkan untuk kembali ke puncak lawu, berbeda dari perjalanannya di puncak lawu sebelumnya, perintah yang harus dijalaninya kali ini dengan berpuasa pati geni selama 7 hari 7 malam yang dilakukan di sumur jolo tundo.
Perjalanan Mbah Harso tidak hanya sampai disitu saja, setelah selesai menjalani tapa bratanya, dia pun harus melalui beberapa ujian dalam menghadapi fenomena-fenomena alam maupun gaib yang ada di gunung lawu. Dari kejadian inilah akhirnya Mbah Harso jadi terbiasa dengan kehidupan yang dilaluinya di gunung hingga dua tahun lamanya berdiam dan menetap di puncak lawu. selama dua tahun di puncak lawu, makanan yang dimakan Mbah Harso dari sesaji yang di bawa para pengunjung yang berziarah di pertapan tersebut. "di gunung lawu hampir tiap hari ada peziarah yang memberikan sesaji berupa makanan di hampir semua pertapan yang ada, dan sesaji-sesaji itulah yang di makan," katanya. Kebanyakan dari para peziarah yang datang tau makanan kesukaan leluhur yang ada di lawu, yaitu singkong bakar, jadi singkong bakar itulah yang saya makan, Lanjutnya. Dalam berguru pada perjalanan spiritual dan alam gunung lawu, Mbah Harso mendapatkan mandat untuk menjaga kelestarian serta harus mau memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mendapat musibah di seluruh area gunung lawu tampa kecuali. Karena rasa tanggung jawab atas mandat yang didapat dari sosok perempuan tua yang selama ini membimbingnya, dengan segenap keyakinan, seluruh kehidupan Mbah Harso di curahkan untuk mengabdi pada gunung lawu. "dalam hidupku tidak pernah sedikitpun terbesit niat untuk meninggalkan gunung lawu," ucapnya dengan sungguh-sungguh.
Seiring berjalannya waktu, karena kecintaannya pada alam dan mengenal seluruh medan yang ada di gunung lawu, pada 1981 harso bergabung dengan relawan kemanusiaan dan alam serta mengikuti pendidikan SAR, hingga pada 2005 dia masuk menjadi anggota SARDA Jawa Tengah hingga saat ini. "inilah bentuk pengabdianku kepada gunung lawu, terlepas dari perintah spiritual yang aku terima, karena menjadi relawan adalah sebuah panggilan jiwa," tegasnya. Disela-sela aktifitasnya, selain memberikan pendidikan SAR kepada para pencinta alam, agar bisa memenuhi kebutuhan hidup, sambil menjalankan tugas-tugasnya Mbah Harso menjajakan aneka macam cindramata hasil karyanya sendiri seperti patung, cincin, kalung dan berbagai macam lainnya yang semuanya terbuat dari kayu liwung yang banyak tumbuh di gunung lawu pada para pengunjung, baik itu para pendaki maupun peziarah yang datang. "hidup di gunung, kalau tidak kreatif ya gak bias apa-apa," Ucapnya seraya menghembuskan asap rokok kreteknya.
Dalam ceritanya dia juga mengatakan kejadian yang tidak pernah bisa dilupakan, yaitu ketika dia harus kehilangan seorang teman akrabnya, itu terjadi sekitar tahun 70-an dimana ketika teman sekampungnya meminta tolong untuk diantarkan menuju puncak, tetapi ditengah perjalanannya, cuaca yang tadinya cerah mendadak berubah menjadi hujan badai. Karena temannya memaksa untuk terus melanjutkan pendakian, ketika sudah mendekati area pertapan Hargo Dalem temannya meminta agar Mbah Harso untuk berjalan terlebih dahulu menuju pertapan untuk menyalakan api unggun guna menghangatkan badan, namun seetelah ditunggu-tunggu ternyata temannya tidak juga menyusul sampai akhirnya dia pun harus turun kembali untuk menemuinya yang ternyata pada saat itu didapati temannya sudah meninggal.
Dari pengalaman-pengalamannya itulah yang menjadi motivasi Mbah Harso untuk terus menjaga dan mengawasi semua aktifitas baik yang ingin melakukan pendakian maupun laku spiritual agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bisa saya bayangkan seperti apa kehidupan yang harus dilalui Mbah Harso, dengan tanpa pamrih menjalani waktu demi waktu, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun untuk sebuah pengabdian, tak ada rasa penyesalan sedikitpun dari wajah dan tatapan matanya, yang terpancar hanyalah rasa bangga, bangga akan tanggung jawab, kepada sesama dan alam gunung lawu.
No comments:
Post a Comment